Nama
saya Adhitya Nandha Karuniawan. Praktisnya, orang tua saya memberi nama
panggilan, Nandha. Mungkin sebagian orang bertanya-tanya, kenapa tidak Adit?
Katanya, nama Adit lebih keren. Dan pertanyaan itu pula yang pernah saya
lontarkan kepada orang tua saya. Dan jawabnya, “kui singkatan jeneng bapak ibu mu, le”, kata ibu dengan bahasa
keseharian kami di rumah, Bahasa Jawa. Mungkin menurutnya, saya akan jauh lebih
bangga kepada mereka dengan nama panggilan itu. Atau mungkin juga, itu
pengingat bahwa saya adalah anak pertama yang harus berbakti dan tidak
melupakan mereka saat nanti saya sudah sangat dewasa. Saya lahir di sebuah kota
yang pada masa itu masih menjadi kota kecil.Ya, Kediri. Tepat di tanggal 5
bulan Agustus tahun 1993. Di Rumah Sakit Umum Daerah Gambiran Kota Kediri, yang
menjadi saksi bagaimana ayah dan ibu benar-benar bahagia atas kehadiran saya
saat itu. Merekalah Hadi Purnomo dan Sumarni. Pasangan suami istri mandiri.
Saya berkembang di rumah kecil di daerah Kabupaten Kediri. Rumah dengan dinding kayu, dan atap yang sudah reyot. Belum lagi ini rumah tua, rumah eyang buyut saya. Sebagian orang yang melihatnya pasti akan tahu apa yang akan terjadi nantinya di rumah ini, ya.. Rubuh. Namun, keyakinan dan kebulatan tekad orang tua saya membuat rumah ini tetap bertahan hingga saya menjadi anak-anak yang sudah bisa bermain dengan lincahnya. Hingga akhirnya, tepat di 1 Maret 1998 di Rumah Sakit Umum Daerah Gambiran Kota Kediri pula, lahir perempuan cantik yang diberi nama Fadhia Fawais Ramadhani. Kami memanggilnya Dhea. Perempuan itu adalah adik saya. Kehidupan kami masih tetap saja seperti itu hingga 2 tahun kelahiran Dhea, dan akhirnya ayah diterima di PT Unilever Indonesia, Tbk. Saat itu, keluarga kami sudah mulai berkembang. Mungkin semua karena keuletan dan kesabaran ayah. Hingga saat saya menginjak kelas 5 SD, ayah dan ibu berhasil mengumpulkan uang untuk membangun rumah sendiri. Tetap di daerah rumah kami yang lama, namun rumah ini jauh lebih layak. Dan juga di tahun itu lahirlah lagi perempuan dengan nama Nabilla Dinda Ayuningtyas. Dengan anggunnya, kami memanggilnya Dinda. Dari situ perekonomian kami kokoh. Jabatan ayah dan ibu naik. Selain itu, ayah dan ibu merupakan atlet voli yang juga memperoleh tambahan penghasilan dari situ. Dari situlah kami menyadari, Tuhan maha adil dan pemurah.
Saya berkembang di rumah kecil di daerah Kabupaten Kediri. Rumah dengan dinding kayu, dan atap yang sudah reyot. Belum lagi ini rumah tua, rumah eyang buyut saya. Sebagian orang yang melihatnya pasti akan tahu apa yang akan terjadi nantinya di rumah ini, ya.. Rubuh. Namun, keyakinan dan kebulatan tekad orang tua saya membuat rumah ini tetap bertahan hingga saya menjadi anak-anak yang sudah bisa bermain dengan lincahnya. Hingga akhirnya, tepat di 1 Maret 1998 di Rumah Sakit Umum Daerah Gambiran Kota Kediri pula, lahir perempuan cantik yang diberi nama Fadhia Fawais Ramadhani. Kami memanggilnya Dhea. Perempuan itu adalah adik saya. Kehidupan kami masih tetap saja seperti itu hingga 2 tahun kelahiran Dhea, dan akhirnya ayah diterima di PT Unilever Indonesia, Tbk. Saat itu, keluarga kami sudah mulai berkembang. Mungkin semua karena keuletan dan kesabaran ayah. Hingga saat saya menginjak kelas 5 SD, ayah dan ibu berhasil mengumpulkan uang untuk membangun rumah sendiri. Tetap di daerah rumah kami yang lama, namun rumah ini jauh lebih layak. Dan juga di tahun itu lahirlah lagi perempuan dengan nama Nabilla Dinda Ayuningtyas. Dengan anggunnya, kami memanggilnya Dinda. Dari situ perekonomian kami kokoh. Jabatan ayah dan ibu naik. Selain itu, ayah dan ibu merupakan atlet voli yang juga memperoleh tambahan penghasilan dari situ. Dari situlah kami menyadari, Tuhan maha adil dan pemurah.
Kehidupan
kami berjalan seperti pada umumnya. Hingga saya duduk di bangku SMA, hingga
saya sudah bisa berfikir apa yang harus saya lakukan. Saya adalah anak pertama
dari 3 bersaudara. Kedua adik saya perempuan, dan saya harus menjadi contoh
bagi mereka. Saat itu bagi saya hal itu tidak masalah, tapi tidak untuk saat
ini. Kedua gadis kecil saya sudah tumbuh menjadi seprang perempuan yang mampu
berfikir. Bagitu pula saya, lambat laun saya tahu bahwa tugas saya berat.
Lambat laun saya tahu bahwa hidup saya penuh perjuangan. Hingga saya duduk di
bangku kuliah. Saya benar-benar dituntut untuk bisa mengerti keadaan saya dan
keluarga. Dan entah itu dari mana, saya benar-benar takut jika adik saya
menangis. Beberapa waktu, saya merelakan apa yang seharusnya menjadi milik
saya, untuk adik saya. Apa yang bisa saya perbuat jika adik saya mengeluh
tentang kehidupannya? Hingga akhirnya saya mampu berfikir, apa yang harus saya
lakukan dan saya nanti perjuangkan. Semua tentang hidup saya itu membuat saya
benar-benar mencintai keluarga saya dan mencintai kota saya tercinta, Kediri.
Entah apa yang menyebabkan hal itu, mungkin latar balakang keluarga dan
lingkungan saya. Dan saat ini, kota kecil saya sudah menjadi kota berkembang yang
berancang-ancang untuk menjadi kota besar. Dan sekali lagi, dalam 5 tahun ke
depan, saya ingin bekerja untuk kota saya ini, Kediri Raya. Bagi saya, memajukan
Kediri adalah sama halnya dengan memakmurkan saudara-saudara terdekat saya
sendiri.
Bagi
saya, banyak cara untuk menjadikan Kediri lebih maju dan berkembang. 5 tahun ke
depan saya ingin menjadi seorang pengajar dan penyuluh tentang Kota dan
Kabupaten Kediri kepada masyarakat. Tentunya dengan tergabung dalam tim Dinas Perhubungan
Komunikasi dan Informatika Kota atau Kabupaten Kediri. Selain itu saya ingin
membuka kantor advertising dan atau Biro Konsultan Publik. Ada beberapa
kekuatan dari diri saya yang bisa saya andalkan di sini. Pertama, karena saya
saat ini sedang menjalani proses belajar sebagai mahasiswa Ilmu Komunikasi
Universitas Brawijaya. Tentunya itu sangat menunjang sekali. Karena saat ini
yang dibutuhkan Kediri adalah pemasar yang hebat. Selain itu, saya adalah
seorang yang mampu bergaul dengan segala kalangan masyarakat, karena background
keluarga saya tersebut, sehingga saya bisa merangkul semua golongan untuk lebih
bangga dan berkenan untuk memajukan Kediri dari aspek manapun. Lalu, saya
adalah seseorang yang berprinsip. Sangat diperlukan pribadi yang tidak mudah
goyah untuk menjadi seorang pemimpin di depan. Selain itu, saya adalah tipikal
orang yang bertanggung jawab dan percaya diri. Dan juga, saya mampu
mengidentifikasi seperti apa hidup saya dan berkat kehidupan keluarga saya,
saya menjadi remaja yang tangguh. Dalam hidup saya, santai itu perlu. Tetapi
santai yang menghasilkan sesuatu dan mampu dipertanggungjawabkan. Dan saya rasa
kelebihan minimal mampu meyakinkan keteguhan hati saya untuk mengabdi kepada
daerah kelahiran saya.
Sebagai
manusia biasa, selain memiliki kelebihan-kelebihan tersebut, saya juga memiliki
kekurangan-kekurangan. Dan yang paling terlihat tebal adalah sifat saya yang
kurang mampu menerima kekalahan saat bertanding. Termasuk, dalam berpendapat.
Saya selalu ingin omongan saya didengar orang lain. Dan nantinya, dalam
cita-cita saya tersebut, saya bekerja dengan banyak orang. Karena untuk
memajukan sebuah kota, tidak butuh pemikiran yang sedikit. Dan perlahan, dengan
seringnya berdiskusi dengan teman-teman saat ini, membuat saya lebih berharap
agar sifat tersebut dapat tersamarkan tanpa mengurangi daya juang atas
pemikiran sedikitpun.
Saya
paham, untuk menjadi orang besar bukan hanya melihat dari dalam diri sendiri,
tetapi juga harus membaca dan belajar dari lingkungan. Apalagi jika nantinya
kita bekerja untuk lngkungan tersebut. Mau dibawa kemana lingkungan tersebut,
haruslah kita mengkaji lebih dalam tentangnya. Setidaknya, sampai saat ini saya
paham apa yang saya punyai untuk menunjang cita-cita saya. Termasuk,
kesempatan-kesempatan. Saat ini, dalam hati saya selalu tertanam, “rumahku ya
Kediri. Malang cuma tempatku mencari ilmu untuk membangun Kediri”, sehingga
menimbulkan sikap saya untuk lebih sering pulang ke rumah daripada ke kost. Dan
orang tua cukup mendukung hal tersebut. Kesempatan yang dilonggarkan oleh orang
tua saya untuk sering pulang selalu saya manfaatkan untuk berkeliling kota
bersama mereka dan teman-teman saya. Berkeliling kota di sini saya gunakan
untuk mempelajari, bagaimana kota saya, sehingga saya mampu terus belajar lebih
dalam kehidupan sosial masyarakat Kediri. Selain itu, kesempatan lain yang saya
pergunakan dengan maksimal adalah ibu saya. Ibu yang bekerja di Bappeda Kota
Kediri selalu saya manfaatkan untuk belajar lebih dalam pembangunan-pembangunan
di Kediri. Dan saya selalu memposisikan diri sebagai rekan kerja ibu, jadi ibu
seringnya juga mendengarkan aspirasi saya. Kesempatan yang sama bisa jadi tidak
datang pada beberapa orang. Maka dari itu, saya memanfaatkan kesempatan kecil
ini, yang nantinya mampu berpengaruh besar dalam kinerja saya membangun Kediri.
Saya
sangat paham, dalam hidup tidak hanya kesempatan saja yang ada, namun juga
ancaman. Dalam hidup ini, ancaman datang untuk ditaklukkan. Dituntut dengan
kekuatan dan segala prinsip yang dikerahkan. Ancaman yang datang kepada saya saat
ini adalah sebuah kepercayaan. Tidak banyak orang melihat serius keinginan saya
untuk memasarkan tanah kelahiran dan menciptakan impian saya ini. Tetapi,
segalanya harus tetap berjalan. Saya pun juga berjalan sesuai koridor yang saya
inginkan. Dan saya berharap, hasil kerja saya dapat membeli perkataan mereka
yang mengira impian saya terlalu muluk. Selain itu, ancaman dana. Kembali lagi,
saya adalah si sulung yang juga harus memikirkan kehidupan kedua adik saya
kelak. Tidak mungkin saya menghabiskan seluruh penghasilan orang tua saya hanya
untuk ini. Maka dari itu, saya harus mulai memikirkan dan merintis cita-cita
saya mulai dari saat ini. Saat dimana saya menulis tulisan ini. Karena, segala
sesuatu yang dilakukan dengan sedikit demi sedikit, hasilnya akan lebih
memuaskan.
“Saya bukan individu yang
terlahir dari keluarga kaya raya, maka dari itu saya harus berusaha. Saya
lakukan apapun yang saya suka, yang mengabdi kepada bangsa.”
“Hidup tidak perlu motto. Tapi
perlu prinsip. Banyak waktu untuk berbenah, karena masih banyak waktu untuk
hidup”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar