Minggu, 24 Juni 2012

this is mine!


                Nama saya Adhitya Nandha Karuniawan. Praktisnya, orang tua saya memberi nama panggilan, Nandha. Mungkin sebagian orang bertanya-tanya, kenapa tidak Adit? Katanya, nama Adit lebih keren. Dan pertanyaan itu pula yang pernah saya lontarkan kepada orang tua saya. Dan jawabnya, “kui singkatan jeneng bapak ibu mu, le”, kata ibu dengan bahasa keseharian kami di rumah, Bahasa Jawa. Mungkin menurutnya, saya akan jauh lebih bangga kepada mereka dengan nama panggilan itu. Atau mungkin juga, itu pengingat bahwa saya adalah anak pertama yang harus berbakti dan tidak melupakan mereka saat nanti saya sudah sangat dewasa. Saya lahir di sebuah kota yang pada masa itu masih menjadi kota kecil.Ya, Kediri. Tepat di tanggal 5 bulan Agustus tahun 1993. Di Rumah Sakit Umum Daerah Gambiran Kota Kediri, yang menjadi saksi bagaimana ayah dan ibu benar-benar bahagia atas kehadiran saya saat itu. Merekalah Hadi Purnomo dan Sumarni. Pasangan suami istri mandiri.
            Saya berkembang di rumah kecil di daerah Kabupaten Kediri. Rumah dengan dinding kayu, dan atap yang sudah reyot. Belum lagi ini rumah tua, rumah eyang buyut saya. Sebagian orang yang melihatnya pasti akan tahu apa yang akan terjadi nantinya di rumah ini, ya.. Rubuh. Namun, keyakinan dan kebulatan tekad orang tua saya membuat rumah ini tetap bertahan hingga saya menjadi anak-anak yang sudah bisa bermain dengan lincahnya. Hingga akhirnya, tepat di 1 Maret 1998 di Rumah Sakit Umum Daerah Gambiran Kota Kediri pula, lahir perempuan cantik yang diberi nama Fadhia Fawais Ramadhani. Kami memanggilnya Dhea. Perempuan itu adalah adik saya. Kehidupan kami masih tetap saja seperti itu hingga 2 tahun kelahiran Dhea, dan akhirnya ayah diterima di PT Unilever Indonesia, Tbk. Saat itu, keluarga kami sudah mulai berkembang. Mungkin semua karena keuletan dan kesabaran ayah. Hingga saat saya menginjak kelas 5 SD, ayah dan ibu berhasil mengumpulkan uang untuk membangun rumah sendiri. Tetap di daerah rumah kami yang lama, namun rumah ini jauh lebih layak. Dan juga di tahun itu lahirlah lagi perempuan dengan nama Nabilla Dinda Ayuningtyas. Dengan anggunnya, kami memanggilnya Dinda. Dari situ perekonomian kami kokoh. Jabatan ayah dan ibu naik. Selain itu, ayah dan ibu merupakan atlet voli yang juga memperoleh tambahan penghasilan dari situ. Dari situlah kami menyadari, Tuhan maha adil dan pemurah.
            Kehidupan kami berjalan seperti pada umumnya. Hingga saya duduk di bangku SMA, hingga saya sudah bisa berfikir apa yang harus saya lakukan. Saya adalah anak pertama dari 3 bersaudara. Kedua adik saya perempuan, dan saya harus menjadi contoh bagi mereka. Saat itu bagi saya hal itu tidak masalah, tapi tidak untuk saat ini. Kedua gadis kecil saya sudah tumbuh menjadi seprang perempuan yang mampu berfikir. Bagitu pula saya, lambat laun saya tahu bahwa tugas saya berat. Lambat laun saya tahu bahwa hidup saya penuh perjuangan. Hingga saya duduk di bangku kuliah. Saya benar-benar dituntut untuk bisa mengerti keadaan saya dan keluarga. Dan entah itu dari mana, saya benar-benar takut jika adik saya menangis. Beberapa waktu, saya merelakan apa yang seharusnya menjadi milik saya, untuk adik saya. Apa yang bisa saya perbuat jika adik saya mengeluh tentang kehidupannya? Hingga akhirnya saya mampu berfikir, apa yang harus saya lakukan dan saya nanti perjuangkan. Semua tentang hidup saya itu membuat saya benar-benar mencintai keluarga saya dan mencintai kota saya tercinta, Kediri. Entah apa yang menyebabkan hal itu, mungkin latar balakang keluarga dan lingkungan saya. Dan saat ini, kota kecil saya sudah menjadi kota berkembang yang berancang-ancang untuk menjadi kota besar. Dan sekali lagi, dalam 5 tahun ke depan, saya ingin bekerja untuk kota saya ini, Kediri Raya. Bagi saya, memajukan Kediri adalah sama halnya dengan memakmurkan saudara-saudara terdekat saya sendiri.
            Bagi saya, banyak cara untuk menjadikan Kediri lebih maju dan berkembang. 5 tahun ke depan saya ingin menjadi seorang pengajar dan penyuluh tentang Kota dan Kabupaten Kediri kepada masyarakat. Tentunya dengan tergabung dalam tim Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika Kota atau Kabupaten Kediri. Selain itu saya ingin membuka kantor advertising dan atau Biro Konsultan Publik. Ada beberapa kekuatan dari diri saya yang bisa saya andalkan di sini. Pertama, karena saya saat ini sedang menjalani proses belajar sebagai mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya. Tentunya itu sangat menunjang sekali. Karena saat ini yang dibutuhkan Kediri adalah pemasar yang hebat. Selain itu, saya adalah seorang yang mampu bergaul dengan segala kalangan masyarakat, karena background keluarga saya tersebut, sehingga saya bisa merangkul semua golongan untuk lebih bangga dan berkenan untuk memajukan Kediri dari aspek manapun. Lalu, saya adalah seseorang yang berprinsip. Sangat diperlukan pribadi yang tidak mudah goyah untuk menjadi seorang pemimpin di depan. Selain itu, saya adalah tipikal orang yang bertanggung jawab dan percaya diri. Dan juga, saya mampu mengidentifikasi seperti apa hidup saya dan berkat kehidupan keluarga saya, saya menjadi remaja yang tangguh. Dalam hidup saya, santai itu perlu. Tetapi santai yang menghasilkan sesuatu dan mampu dipertanggungjawabkan. Dan saya rasa kelebihan minimal mampu meyakinkan keteguhan hati saya untuk mengabdi kepada daerah kelahiran saya.
            Sebagai manusia biasa, selain memiliki kelebihan-kelebihan tersebut, saya juga memiliki kekurangan-kekurangan. Dan yang paling terlihat tebal adalah sifat saya yang kurang mampu menerima kekalahan saat bertanding. Termasuk, dalam berpendapat. Saya selalu ingin omongan saya didengar orang lain. Dan nantinya, dalam cita-cita saya tersebut, saya bekerja dengan banyak orang. Karena untuk memajukan sebuah kota, tidak butuh pemikiran yang sedikit. Dan perlahan, dengan seringnya berdiskusi dengan teman-teman saat ini, membuat saya lebih berharap agar sifat tersebut dapat tersamarkan tanpa mengurangi daya juang atas pemikiran sedikitpun.
            Saya paham, untuk menjadi orang besar bukan hanya melihat dari dalam diri sendiri, tetapi juga harus membaca dan belajar dari lingkungan. Apalagi jika nantinya kita bekerja untuk lngkungan tersebut. Mau dibawa kemana lingkungan tersebut, haruslah kita mengkaji lebih dalam tentangnya. Setidaknya, sampai saat ini saya paham apa yang saya punyai untuk menunjang cita-cita saya. Termasuk, kesempatan-kesempatan. Saat ini, dalam hati saya selalu tertanam, “rumahku ya Kediri. Malang cuma tempatku mencari ilmu untuk membangun Kediri”, sehingga menimbulkan sikap saya untuk lebih sering pulang ke rumah daripada ke kost. Dan orang tua cukup mendukung hal tersebut. Kesempatan yang dilonggarkan oleh orang tua saya untuk sering pulang selalu saya manfaatkan untuk berkeliling kota bersama mereka dan teman-teman saya. Berkeliling kota di sini saya gunakan untuk mempelajari, bagaimana kota saya, sehingga saya mampu terus belajar lebih dalam kehidupan sosial masyarakat Kediri. Selain itu, kesempatan lain yang saya pergunakan dengan maksimal adalah ibu saya. Ibu yang bekerja di Bappeda Kota Kediri selalu saya manfaatkan untuk belajar lebih dalam pembangunan-pembangunan di Kediri. Dan saya selalu memposisikan diri sebagai rekan kerja ibu, jadi ibu seringnya juga mendengarkan aspirasi saya. Kesempatan yang sama bisa jadi tidak datang pada beberapa orang. Maka dari itu, saya memanfaatkan kesempatan kecil ini, yang nantinya mampu berpengaruh besar dalam kinerja saya membangun Kediri.
            Saya sangat paham, dalam hidup tidak hanya kesempatan saja yang ada, namun juga ancaman. Dalam hidup ini, ancaman datang untuk ditaklukkan. Dituntut dengan kekuatan dan segala prinsip yang dikerahkan. Ancaman yang datang kepada saya saat ini adalah sebuah kepercayaan. Tidak banyak orang melihat serius keinginan saya untuk memasarkan tanah kelahiran dan menciptakan impian saya ini. Tetapi, segalanya harus tetap berjalan. Saya pun juga berjalan sesuai koridor yang saya inginkan. Dan saya berharap, hasil kerja saya dapat membeli perkataan mereka yang mengira impian saya terlalu muluk. Selain itu, ancaman dana. Kembali lagi, saya adalah si sulung yang juga harus memikirkan kehidupan kedua adik saya kelak. Tidak mungkin saya menghabiskan seluruh penghasilan orang tua saya hanya untuk ini. Maka dari itu, saya harus mulai memikirkan dan merintis cita-cita saya mulai dari saat ini. Saat dimana saya menulis tulisan ini. Karena, segala sesuatu yang dilakukan dengan sedikit demi sedikit, hasilnya akan lebih memuaskan.

“Saya bukan individu yang terlahir dari keluarga kaya raya, maka dari itu saya harus berusaha. Saya lakukan apapun yang saya suka, yang mengabdi kepada bangsa.”
“Hidup tidak perlu motto. Tapi perlu prinsip. Banyak waktu untuk berbenah, karena masih banyak waktu untuk hidup”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar