Minggu, 06 Januari 2013

Dalam Jatuhnya Hujan

Seperti aku yang berayun dengan kenangan. Beralasan, aku hanya menunggu alasan. Alasan tentang kepergian, yang hingga kini masih seolah seperti dentuman angin malam. Keras, namun timbulkan pertanyaan. Bagaimana, untuk siapa, dan mengapa.

Aku seolah menari dalam kenangan itu, merajut sendiri dan membentengi segenap perih perasaan yang tergores dalam rindu. Aku bukan mahasiswa manajemen, bahkan menurutku mahasiswa manajemenpun tak handal mengatur perasaan itu. Ya, cinta. Kenapa disebut cinta? Abstraknya sama saja dengan perihal kebimbangannya.

Aku yang hanya duduk terdiam, mencoba berlari ke luar, melihat hujan menadahi seluruh isi senja, menantiku seolah menyambut raksasa luka yang keluar dari bilik angkaranya. Kemudian aku diam, dan kukira benar, aku membutuhkan payung itu.

Seketika ada yang menyapaku dari kejauhan, dengan lirih dia memanggil ketenanganku, mengoyak batin yang semestinya tetap tegap merasakan irama jatuhnya hujan itu. Pikirku racau saat itu, seolah menjatuhkan harga diri, kusambut sapaannya.

Kami saling lembut membaca. Oh ternyata kami sama, kami terhina. Seolah musnah pupus kecewaku kali itu, ketika dia mengusap lembut luka yang seolah tak pernah aku mengerti caranya menghalangi. Hingga sebentuk rangkaian kata itu membuatku mengerti tak ada luka yang tak sirna.

Perlahan aku mencari harapan dari kedinginan hati itu, seolah aku belum menemukan alasan. Tetap, masih seperti biasanya. Bagianku, bagianmu, seolah belum berpadu, atau mungkin, terlalu lama aku tak menyatu?

Perlahan dia menampilkan gaya baru, kukira tetap perihal cinta. Dalam jatuhnya hujan, seharusnya dia menjadi payung penghangat rasa, seolah bertindak seperti teh panas dalam salju yang membekukan jiwa. Ya, dia berhasil melakukannya. Hingga saat ini, hingga saat aku membingkainya sendiri.

Dan dalam jatuhnya hujan, seolah fokusku terkoyak. Tak mampu kudengar suara dengungan yang lainnya. Tentang cinta, kebenarannya, orang baru, alasan orang lama, bahkan hingga perasaanku sendiri. Bukannya mati suri, hanya semacam aku tak sanggup mengenali.

Seketika hujan kembali berhenti, dengungku bukannya bertambah menjadi, namun hilang dalam kepekaan simfoni. Aku masih tetap membingkainya sebagai payung. Payung lama, payung baru. Yang kuharap suatu saat bisa kupilih salah satu.

Dalam jatuhnya hujan, seolah semua masih tak terdengar. Perasaanku yang membimbang sendiri, dan hadirmu yang tak kunjung beri kejelasan yang berarti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar