Minggu, 14 Oktober 2012

sajak tak beraturan untuk ayah yang kubanggakan





Lelaki tampan yang kukagumi. Dalam setiap tegas garis tubuhnya, menyimpan cinta yang selalu kuagungkan. Matanya yang coklat, karenanya aku tampak luar biasa. Hidungnya yang sempurna, bagiku lumrah wanita jatuh hati padanya. Ya, dia ayahku. Ayah yang kuat dan hidupnya keras. Dalam diamnya dia tegas, dalam marahnya dia mengasih.

Lelaki tampan itu menimangku hingga 5 tahun. Memberi kecupan dan asupan cinta yang berlebihan kala itu. Lelaki tampan yang belum bekerja, seorang sarjana administrasi negara yang merana. Namun kala itu ia bahagia, anak sulungnya tumbuh semakin istimewa.

Lelaki tampan yang kucintai. Mereka bilang kau jahat. Mereka bilang kau galak. Dan segalanya sempat berubah kala aku mendengarkannya. Dan segalanya semakin kuyakini saat kurasakan sandal melayang ke pipiku saat tak kudengar perintahmu. Hingga suatu masa, aku semakin yakin. Kau lelaki keras yang seram menurutku.

Dalam serammu kau mendidikku selama bertahun-tahun. Memberikanku gambaran akan arti hidup ini. Contoh kecilnya, menyuruhku untuk memilih sebuah perguruan tinggi dalam seleksi SNMPTN Undangan yang akhirnya..... aku tidak diterima. Kemudian dalam bingungmu, kau mengupayakanku untuk mendapatkan yang terbaik. Aku tahu, walaupun dalam sindir dan emosi yang sempat kau luapkan saat aku memilih untuk melanjutkan kuliah di salah satu universitas yang tak kau sukai.

Lelaki tampan itu..... Menangis. Saat ia tahu namaku tertera sebagai calon mahasiswa ilmu komunikasi brawijaya melalui snmptn tulis. Walau tak ditunjukkannya kepadaku, namun telingaku terlalu sensitif untuk mendengarkan ungkapan bahagia itu. Ungkapan yang lama tak kudengarkan. Ungkapan yang membuatku yakin apa itu cinta.

Suatu ketika, saat dokter menyatakan infeksi lambung ini sudah parah, lelaki tampan itu memberikanku semangat, bahwa aku harus berdiri tegap di atas penyakit yang selamanya kuderita. Lelaki tampan itu (sedikit) berhasil menghipnotisku. Dengan sigap, kembali aku dalam kehidupanku. Saat itu, bagiku kaulah power hidupku.

Waktu berjalan begitu cepat. Hingga kini, lelaki tampan itu menemui kenyataan yang tak sewajarnya ditemui oleh lelaki sehat sepertinya. Sel kanker yang dikandungnya, membuatnya lemah tak berdaya. Tak lagi keras, walau pandangannya masih tajam sesaat. Lelaki tampan itu tak sekuat biasanya.

Beberapa waktu kuputar kembali. Mengingatkan bagaimana ia menimangku dengan cinta yang ditransfer melalui wajah tampannya. Hingga kuteriakkan, ayah harus semangat! Meja operasi bukan final kehidupan. Ayah punya keluarga, ayah jangan menangis walau lelah! Dan kini kutau, ayahku tak sekuat petuah yang diberikannya kepadaku. Entah karena apa, mungkin karena sakit yang dideritanya mahadahsyat rasanya.

Lelaki tampan, aku hanya ingin engkau mengetahui satu hal. Dalam usiamu yang masih muda, aku ingin menjagamu agar kau tak lelah. Dalam jalanmu yang semakin membungkuk, dalam perutmu yang semakin membesar, dalam tubuhmu yang semakin kurus, aku tetap membanggakanmu sebagai lelaki tampan yang kucintai dan kubanggakan. Aku hanya ingin menciummu dengan tulisan ini. Dengan bumbu tangisan ini. Agar tak ada kesedihan yang kau ketahui. Agar kau tahu, aku disini untuk menjagamu, seperti 5 tahun yang kau berikan penuh untuk menimangku dengan cinta. Ayahku, jika suatu saat tulisan ini berhasil kau baca, ketahuilah dalam bisikmu aku bahagia. Aku ingin kembali melihatmu tersenyum, walau kutahu tak semudah itu kau membunuh rasa sakitmu. Ayahku yang kubanggakan, selamanya engkau terang di langit hidupku yang indah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar