Kamis, 21 Februari 2013

memeluk realita

sejauh ini, sejauh jejak langkahku terekam, seperti aku selalu menoleh ke belakang, aku takut, aku masih takut. lalu demikian aku masih mengaduh dalam lembaran kisah yang tertulis tetap sama berasa, tak jauh lebih indah, tak kesan lebih merdu. perihal rasa yang telah terkontaminasi kecewa.

aku masih datang sebagai pemuja jalan terang, yang di persimpangan jalan masih selalu melihat sekitarku, mengupas peluh jiwa, meraba luruh hasta. karena cinta yang mengalir dalam raga tak jua menyanding bahagia, namun pedihnya menusuk hati. lalu kemudian aku mendengar lebih dalam, dari pilihan yang tersedia. yaitu pilihan untuk tidak dapat memilih.

kemudian aku beranjak menghampiri seseorang yang tak pernah menyakitiku. ah, aku hanya membutuhkan waktu untuk tersenyum, dan aku berhasil. tubuhnya seperti dipatri dalam otakku, melumpuhkan logikaku, lagi-lagi aku terlupa atas realita. dua kali. dua kali. dua kali.

tertahan semu atas kepura-puraan. ternyata benar, memang kamu yang hampir tak pernah menyakitiku, ternyata tak pernah bertahan sunyi untuk mencintaiku, itu benar, itu nyata, karena kamu, pelawan realita. dan aku memelukmu, masih di sini, dari belakang aku mengharapkanmu.

Selasa, 12 Februari 2013

Bisa aku meminjam namamu lagi?

Masih berdiam di tepian malam yang kelam, dan terus-terus mengambang karena sebuah penyesalan. Tentang sekuat apa aku berjuang mempertahankan, tentang setegas apa janji diiyakan, namun berakhir tetap tumbang. Tetap menyengsarakan. Cinta yang kelam.

Tiada tempat seromantis kursi yang berhadapan, bukan? Lalu teh hangat yang sedikit melegakan rasa, atau terkadang kopi pekat yang membumbui kerinduan tentang cinta. Kita, pernah berdua, lalu saling meminjam nama untuk sasaran pelempar sepi, tentang kamu, yang selalu hadir dalam malamku sendiri. tanpa kuminta, tanpa harus kujatuhkan harga.

Lalu kemudian masih ada namamu di secarik kertas kecil yang kutulis. Kali ini tak kugambar nyata, aku hanya mampu memujamu sendirian, seiring rasa yang mungkin  telah kau pudarkan demikian. Aku menyanjungnya, hingga aku bosan menceritakannya. Bosan untuk merindu, bosan untuk merasakan rindu karenamu.

Perlahan cerita memudar, tak ada jiwamu dalam goresan pena hari-hariku. Namun masih ada rasa, yang kutulis hambar, tanpa penyedap cerita yang lain. Pintu itu, pintu masa lalu. Sebegitu berharganya namamu di sini, dalam kotak produktivitasku. Kamu, dan ceritamu. Bagian terpenting dari cerita hidupku. Bisa aku meminjam namamu lagi?

Sabtu, 09 Februari 2013

lelaki tua di persimpangan langkah kecil

rebah tubuhku di kasur yang sudah 4 tahun menjadi tumpuan malamku, masih selalu dengan sisa tangis yang membalut sepanjang waktu rindu, yang kebanyakan kuhabiskan sesaat ini, menjelang subuh yang menjadi partikel pembangun segalanya.

hingga setapak berhari-hari aku melangkah sendiri dan masih merapuh tanpa tau apa yang ku cari. berjalan hanya untuk keharusan berjalan. menatap hari hanya untuk mensyukuri nikmat Tuhan, namun apalagi? tiada yang lain kukira. hampa, sepi, gulita. selarik lagu disturbia masih menggema di sekat telinga kali ini. memboyak ragaku untuk berjalan keluar. keluar kamar. keluar menatap rindu yang lebih menyejukkan.

lalu kucoba pasang langkah kecil, menapaki jalan yang sempat terukir dalam hari. yang dulu berdua, bersamanya. tentang kebahagiaan yang tak berujung, tentang kasih yang kukira tak akan pernah mendung. lalu kulihat kedalam kembali, masih tentang apa yang kucari. apa yang kucari dari sebuah penantian ini.

hingga langkah kecil mengantarku pada sebuah titik. tentang sudut yang menemukanku pada lelaki tua yang masih terawat. kali ini bukan ayahku, dia jauh lebih tua, dan lebih ganas kukira. ayahku tak sejahat itu. kutatap rautnya, sedikit menggelikan. bagiku dia hanya seorang yang tak tentu arah kali ini, menunggu subuh di bangunan kecil yang kusebut poskamling. kemudian aku mendatanginya, menanyakan apa yang dilakukannya. dan dia hanya tersenyum kecil untuk menjawab ,"bukankah kita memang seharusnya bersiap sejak dinginnya pagi baru kita meminta untuk didatangkan pekerjaan?". aku terdiam, seperti tak ada bumbu senyuman di rautku saat itu. kembali berjalan, mencoba menulis, dan memikirkan secuil kata yang bisa jadi penuh hujan makna.

dan hingga memori membangkitkan pikiranku, berkata tentang hal itu, yang memang seharusnya kita bersiap lebih awal, dan mengerti siapa kita, baru kita boleh meminta untuk dipilih oleh cinta. yak! itu bagiku saat ini. lalu, lelaki tua itu? aku? dan dia? dia yang kuanggap tak berarti apa-apa? ternyata? menyadarkanku yang selama ini masih berjalan seadanya? mengikuti apa yang orang mau? begitu? sehina itu ternyata. masih tentang cinta.

lalu? lelaki tua itu? siapa?

Jumat, 08 Februari 2013

sekilas tulisan nyinyir buat kamu

selamat pagi jiwa yang kekeringan mimpi dan kekurangan ekspresi, selamat bangun dari tidur yang sangat nyaman. mungkin itu satu-satunya hal ternyaman dalam hidupmu yang semakin berantakan. berantakan karena cinta tak setujuan.

banyak hal yang seharusnya tertulis, namun tertahan di hati. sadar diri sebagai sephia, menyakiti banyak manusia. tapi, berapa banyak sephiamu ya? aku yang bingung kali ini.selama aku sakit, kamu ngga datang.. datang ke inboxku lah, atau ke messenger. enggak. blas enggak. makanya aku males nulis, males nulisin kamu.

sekarang kayaknya gantian aku yang kudu merelakan sesuatu, cinta bkan perihal balas dendam kan? terus tiba-tiba aku dateng, masuk, dan bilang ke media kalo aku sama kamu ada hubungan, itu yo gek ngapaaain kan ya? yaaaa mau gimana lagi, kayaknya "keep calm stay cool and yaudahsih" itu tetep jadi pilihan terbaik kalo kita lagi bete-betean macam gini.

ketidakhadiranmu, alasanku buat ngga produktif. diam, hampa, dan aku cuman bisa waklking-walking di area standart, ngga penetrasi, dan itu ngga enak, dan kamu tau, itu ngga enak.

sebenernya aku salut sih sama kamu, kamu paham takdir, paham posisi. seenggaknya, kamu yang jauh lebih sadar kalo kita ngga bisa begini terus-terusan, tapi aku sudah bilang, seenggaknya kita saling "ada" pas kita saling membutuhkan, iya kan? :)) dan ketahuilaaaaaaahh, saat ini aku butuh. banget.dan ngga lucu kalo aku ngrengek-ngrengek sendirian minta kamu kesini. sekian. ini cuman sekilas tulisan nyinyir buat kamu haha.

Minggu, 03 Februari 2013

terendap rindu jogja

baru tadi dini hari kutinggalkan, jogja masih saja bergelanyut dalam ingatan. lagi apa, kamu sekarang? pundak yang kupinjam selama perjalanan. dan telinga yang selalu terpasang mesti tak ada salam perpisahan. sekali lagi, memang jogja menawarkan cerita cinta, bagaimanapun bentuknya.

lantas berdetik waktu masih berlalu dengan lantangnya, dan masih ada aku yang seolah dihantui pertanyaan lain seisi berpijakku di jogja, "apa yang kau dapatkan selain cinta?" sembari menulis prolog, aku kebingungan, apa yang bisa kubumbukan selain perihal cinta. rindu kataku? lalu otakku berbelok berpikir lagi, bukakah rindu masih setipe dengan cinta? lalu apalagi? gembira? gembira sesaat dan seketika dunia berhenti tak mendengarku ketika jogja kulihat sudah berada di belakang bus yang kutumpangi? aku tak sebegitu kuat menahan egoku sendiri, jogjakarta.

beberapa bagian dalam hati berkata, jangan kau rindukan jogja. dia kunci terbesar kau terdiam dalam dunia mimpi. kau tidak akan menghadapi realita. namun sisi lain berkata, ya beginilah realita. jogja yang tak bisa kulepaskan begitu saja, jogja yang selalu memelukku perlahan. memelukku karena ada kamu, dan dia yang kucurhatkan kepadamu. ajaib, jogja selalu begitu. hingga rasa timbul keduanya, namun takdir tak berdiri tegap untuk menyelimutinya. binasa, kemudian hanya akan ada cerita, dan rasa rindu yang menahun menghantu, di bayang-bayang melayang sanubari tempatku berlabuh.

sekedar kerdil cerita yang kita simpan, tentang yang kubagikan kepadamu, dan kamu kepadaku. tentang masa lalu menginjak jogjakarta, tentang rindu menahun atas cinta beda agama, begitupula kamu, diammu dalam nuansa jogjakarta, yang menghentikan waktu, dan menawarkan pundakmu kembali untukku. indah, teramat indah. namun tak seindah apapun jika hanya tetap menjadi kenangan yang tersimpan sendiri. seperti bualan di dini hari, hanya aku yang tertawa, tak ada pendengar lainnya. jogjakarta, selalu perihal cinta. cinta yang tak berencana, atas rindu yang terendap dalam lara.

Jogjakarta. Masih tentang dunia yang berbeda




terbangun di senyapnya pagi, dan kulihat sekali lagi. yogyakarta, ya. aku di sini, masih seolah di sampingmu lagi.

hinggap secuil kisah tentang masa lalu yang hampa, tentang kisah yang hentinya terpaksa, tentang agama, duka, dan kemudian hampa. lalu aku terdiam kembali, masih di tempat yang sama kita tertampar keadaan. malioboro yang indah, dalam hati yang harus menggundah.

seperti bangunan resah di masa lalu, yogyakarta masih sebuntu kemarin malam, sebuntu aku yang meminjam pundak seseorang untuk menceritakanmu, merindukanmu. lalu tumbuh rasa sesaat tentang itu, bukan cuma kamu. bahkan hingga kalbu yang menyerang serpihan masa lalu.

lalu terdiam di pucuk jalan, seperti kita yang terhenti dalam peraduan, namun yogyakarta masih indah, sesingkat apa waktuku, yogyakarta tetap pemberi jalan merindu

masih kamu. dan masih aku yang terluka

Buat kamu yang masih kuperdebatkan tentang masa lalu. Aku menagih mimpi dan jaminan atas kesendirianku saat ini. Kamu pernah menawarkannya. Iya, kamu pernah. Dan aku juga pernah mengiyakannya. 

Buat kamu yang masih berdiri kokoh tanpa kehadiranku. Layaknya seperti kata yang pernah kupegang kala itu, aku merindukanmu. Merindukanmu walau aku masih dalam posisi jatuh tersungkur di tepian kenangan. Hari yang kubumbui sendiri. 

Kamu bukan candu, bukan hantu. Tapi kamu sempat jadi sebuah mimpi. Mimpi yang teramat istimewa. Mimpi yang teramat mempesona. Lalu segalanya hancur saat kamu memberitahu siapa aku sebelumnya. Tentang diriku yang sepenuhnya tak bisa kulihat sendiri. Tentang diriku yang separuhnya sudah kamu kuasai. Lalu aku apadaya menangis. Terlalu bengis untuk berkata cinta lagi. 

Buat kamu yang sudah terlalu bising ditelingaku karena mamaku selalu menanyakannya, yang sempat kutulis mesra bersama jutaan baris-larik puisi. Namamu beradu dalam majas. Masih seperti dulu. Seperti tulisan semu tentang hati merindu yang kukirim kepadamu. Namun kali ini sedikit berbeda, entah mengapa aku harus menyimpannya sendiri. Dan luka. Itu luka.