Rabu, 30 Januari 2013
Cappucino yang kuminum tak pernah sehambar ini
pagi yang sepi. semestinya tetap indah. lalu bertahan aku atas sebuah keputusan tentang kita. kita yang tak lagi bersama. bukan begitu, dari awal memang kita tak bersama. kau bersama pacarmu, dan aku pendampingnya. namun kali ini aku sudah cukup bosan membicarakan itu. kau dan pacarmu. lebih baik kubicarakan tentang kita yang memang sudah pasti tidak akan bersama lagi.
aku bangun dari tempat yang sempat kita mainkan, ya mimpi. kita pernah berayun di sana. merajut asa yang ternyata lenyap seketika saat dunia tak lagi mengijinkan keberadaan kita untuk tertawa bersama. tentang kopi yang sempat menghangatkan, seduhan teh melati di rintiknya hujan, hingga cappucino yang selalu kau pesan di keheningan malam kita. hingga mendarat pada sebuah pelukan mesra. lalu kali ini kuseduh cappucino sendiri. tanpa kamu tempat ceritaku, tanpa kamu yang ada untuk menyandarkan bebanku.
hingga terbitnya matahari dari timur, cappucino yang kuminum tak seperti biasanya. kali ini mungkin seduhannya biasa, kurang hangat menurutku. dan hingga kuingat memori tenggelam di dalamnya, tentang kamu, tentang rasa, tentang cinta, hingga aku tau, tanpamu, karenamu, cappucino yang kuminum tak pernah sehambar ini.
Minggu, 20 Januari 2013
kicauan untukmu
buat kamu yang mungkin nggak tau sekarang aku lagi ngapain, pengen apa, dan kelaparan ngidam apa... ah yang jelas, kamu begitu asik dengan duniamu, dengan pacarmu, dan aku tak begitu asik dengan itu semua. mungkin hanya satu salam yang kubentuk unyu, kulempar dari sini, dari ruang tamu saat aku mengetik tulisan ini.
seperti semua berjalan pada umumnya, seperti semua berjalan dengan semestinya sebuah perjalanan. perkenalan, kehampaan, dan mayoritas rasa. kali ini, rasa kagum yang menyelimuti. ternyata benar kata orang, semakin gampang kita mencintai, maka kita akan semakin rapuh. kadang teruji, siapa yang cinta, siapa yang terdepak. dan dalam kisah ini, aku.
siapa boleh menduga tentang kita. uops, salah, lebih tepatnya tentang aku yang berharap jauh lebih dari ini, dan kamu yang berperan diam saja. heran ya aku, kenapa aku jadi pihak yang menye-menye. maaf, kali ini sepertinya tubuh sedang ngga sinkron sama hati. kayak aku. beneran. serius. sok-sok an ngambek, tapi nggak bisa. dan pilunya sama juga kayak aku yang udah pasang emot sedih, tapu gak ditanyain sedih kenapa. hancur lho. luka lho.
teruntuk kamu yang lagi ditemenin pacarmu bbman. bingung lho aku sekarang, seperti lalai tapi ngga pada tempatnya, semacam gusar tapi ngga semestinya.
dan lagi-lagi apa iya aku harus tersungkur jatuh di cinta sendiri atas pacar orang? teruntuk kamu yang mungkin lagi saling melepas rindu, aku paham tugasmu untukku, dan pacarmu untukmu. jadi, kadang cinta memang memilih untuk diam saja.
Sabtu, 19 Januari 2013
salah.
aku terlanjur menghirup rindu yang seharusnya bukan milikku
banyak hal yang perlahan membuatku sepi di sini. dia, kamu, dan kalian. kalian yang terbentuk dari dia dan kamu lebih tepatnya. dan aku masih menonton. tidak berhenti menonton, di hatiku seperti masih menuai doa. doanya tulus, tapi jahat. iya, biar kalian selesai. dan aku bisa menari girang dari sana.
Kamis, 17 Januari 2013
abu-abu di sekitar hijau muda
mungkin ini ya yang kalian maksud? bayangkan aja dua manusia yang bergabung jadi 1 ikatan dan di sekelilingnya terdapat zona abu-abu. seperti gambar itu? dan gimana kalo zona abu-abu itu aku? istilahnya, ketika kamu memilih buat keluar dari keindahan hijau muda, entah karena apa, aku siap menerima, bahkan memberikan yang lebih dengan tambalan apapun.
Rabu, 16 Januari 2013
masih belum tau atau masih berpura-pura nggak tau? masih nggak mau bilang atau bahkan masih mencoba buat melupakan? kamu nggak sekuat aku ternyata. aku aja bisa jadi pemain cadangan di antara kalian. tapi kamu? nga a a gitu aja udah nyerah! kadang aku mikir, sebegitu hinanya aku hidup dalam cemoohan orang, terima, tapi ga sepenuhnya terima. cuman bilang "ya yo ya yo" tapi itu karena kamu juga, karena kebertahananku sih lebih tepatnya. kadang aku mikir juga sih tapi, kenapa kamu baik mampus. ngasih harapan cuma-cuma di beberapa saat dan letupannya kerasa banget. kepo, stalking, dan semacamnya, kamu bener-bener bisa ngundang aku buat ngelakuin hal-hal itu, padahal aku sadar, aku siapa. kayaknya mau bilang aku maksa, ya emang. enggak, ya emang. ah udahlah, kita sama-sama pemain kok. bedanya, kalian pemain inti, dan aku masih diam, melihat, memperhatikan, menambahkan apa yang kurang dari kalian, soalnya aku pemain cadangan. pemain yang siap dipanggil sewaktu-waktu... karena kamu. |
Senin, 14 Januari 2013
LHO, KOK AKU SEDIH?
"Tahap pertama yang harus kita lakukan saat ini adalah bersahabat dengan hujan dan waktu. Dengan kenangan dan rindu"
"kamu" "kamuflase"
ada hujan yang memagari sepanjang rumahku, dan ada pacarmu yang masih jadi pertimbangan kenapa aku masih disini. ya, as your mega best friend. kata bekennya sih, friendzone. ngga masalah, aku cuman butuh beberapa candaan aja biar bisa ketawa.
malam ini masih hening, iyalah, soalnya aku sendirian. kamu? lagi sama pacarmu ya? ngapain? dimana? kok.... bla bla bla bla... oke deh, akhirnya cuman bisa masuk draft aja sih, bukan ga berani ngirim. cuman ngga enak aja. seenggaknya, sadar diri itu perlu kan? aku juga cukup tau diri tentang hati. ngggggggg. oke kali ini aku cuman bisa ngomong posisiku........................ aku komplementer hati
aku nyesel juga sih, kenapa harus pacar orang. kenapa harus aku yang maksa gitu deh ya, dan kenapa harus kamu datang dengan keadaan yang kayak gini, dan...................... mencengangkan. : lagi penting-pentingnya, ternyata aku kalah jadwal. berujung : yaudah
beberapa hari akhirnya aku mikir juga. kamu itu udah cukup punya hati. ngasih kebebasan sejauh mana aku bebas bertindak. kamu baik, baik banget, cuman akunya aja yang ndableg. dan aku sebenernya perlu ngasih tau kenapa aku bisa kayak gini. nga a a a a a
// awkey. at least, sebagai komplementer hati yang baik, kadang aku juga butuh komplementer yang lainnya. intinya, kadang tulisanku bukan tentang kamu, tapi nyrempet kamu. kamu yang kuharapkan lebih dari kamu, paham? terlalu banyak "kamu"? iyasih. kamu juga gitu kok. masih bingung? oke kita sama-sama nggak punya hati //
kasarnya begini aja sih ya, kamu sekarang ada di samping dia, yang notabene lebih terikat dengan yang namanya pacaran dan semua orang tau itu, bahkan mungkin dunia kegelapan juga paham, sementara aku? aku bisa apa. dan seolah di sini kamu yang nggak punya hati. seolah lho ya, cuman seolah. dan aku? tanpa disadari aku lebih nggak punya hati lagi. kenapa begitu? oke. aku udah bikin bingung banyak orang. dengan terlalu banyaknya "kamu", dan bisa dibilang aku jadi komplementer akut diantara "mereka" nggak punya hati? oke aku lebih baik diam. dan aku percaya sama kamu. iya, kali ini kamu, beneran kamu.... kamu!
Minggu, 13 Januari 2013
Lalu inilah hujan
masih sedetik kira aku memikirkanmu, tentang yang disampingku beberapa hari lalu. itu kamu? mirip hujan, yang kuharap tak kunjung terang.
aku jahat mungkin. menjadikan alasan hujan untuk memintamu berteduh. apa? iya. karena hanya itu alasanku untuk menghubungimu. walau aku tau, dia mungkin jauh memintamu lebih dulu. selamat. mungkin kamu tersenyum karena melihatku yang merasa bodoh karena itu.
lalu aku melihat ke dalam. ya, lagi-lagi aku tersenyum. aku tersenyum atas kebodohanku sendiri. seolah aku memanipulasi waktu, sepertinya pacarmu lagi kubuang ke kutub utara dan kubiarkan dia bercanda dengan pinguin yang tak seindah kamu. lucu. iya kamu tau. tapi kamu diam. diam karena keadaan.
lagi-lagi aku melihatmu lebih dalam. aku tak putus asa rupanya. melihat teduhmu seteduh hujan, yang menghancurkan segenap logikaku, menyamarkan suara di sekitarku, dan hanya ada satu jerit yang terdengar disini. itu hati. jerit hati!
seperti mimpi yang sempat tercipta karenamu, lalu aku merombaknya sendiri. eh, iya. aku seperti air yang tertahan saat ini. rasaku semakin keras, namun terbendung atas keadaan, hingga berbelok tak berarah, bertumpah ruah, namun masih kamu objeknya.
lalu hujan perlahan berhenti, ah aku sebal. membuatmu kembali tersenyum dan memang itu tugasmu dari dulu. tersenyum untuk menertawakanku. kutahan? aku bisa apa. lebih baik aku diam, memandangmu dari jauh, dan jari-jariku seperti terlepas. meminta untuk mengikutimu ke seberang sana.
aku butuh waktu untuk berkuasa. dalam bahasa yang seharusnya kita mendengarkannya bersama. eh, lagi-lagi salah. kita sudah mendengarkannya bersama. bahasa rindu, bahasa senyuman, dan bahasa cinta. tapi... kurang dalam. nyaman.. tapi.. bukan milik "kita"
oh iya, apakabar pacarmu yang tai kuungsikan ke kutub utara? aku berharap dia kedinginan dan mati saja. harapanku aja sih, tapi ya mana mungkin aku mengatakannya kepadamu. aku tak setega itu, sekaligus aku cukup sadar diri. kemudian bibirku mulai membuka pertanyaan, "gimana pacarmu? lagi dimana sekarang?". aw shit! pilu lho :)) pilu. tapi itulah penghargaan. aku menghargai kamu dan kehidupanmu, di saat kamu menghargai bahasa rindu yang seharusnya tak mengandung makna sendu.
kutahan, hingga hari ini semua baik-baik saja. kutahan, hingga hari ini aku masih berpijak dari sudut aku melihatmu. hingga kemudian waktu seolah berputar. iya, hujan. hari ini nggak hujan. nggak mereplikakan untaian cita yang tak biasa. melihatmu di ujung pelupuk mata, lagi, semakin buram, tentang kamu, yak! ada kamu, dan ada hujan. kali ini hujan turun dari sudut aku melihatmu di hati ini, lalu terhubung ke dua mata yang kau tatap penuh arti di hari lalu. kamu mirip, mirip hujan :)
Alasan untuk berhenti mencintai?
tak ada sangka, atas dasar pertemuan, seseorang bisa terluka. bisa lebih berat, terluka sendiri.
seperti mengenal, namun hanya searah. mencoba mengenali hati sendiri, sejauh mana simfoni terlihat abadi. tentang hati yang diperkirakan mati, tentang rasa yang lama sirna. luka
ada alasan untuk bertanya, kenapa ini seolah datang? seolah? iya seolah. hanya bertahan di anganku sendiri. kamu? seperti biasa. tidak mengenali, hanya bertugas datang, dan membuatku tertawa.
kamu masih paket lengkap. lengkap, membuatku semakin suka, namun tetap dalam objek derita. kamu itu lengkap. seperti teh hangat yang sempat memberikan nuansa berbeda antara kita. lengkap
sebegitu berfikirnya aku? mengapa harus bertahan hanya dalam berfikir sendiri? lalu? enak ya jadi kamu. datang bukan membawa pilihan, tapi malah membeberkan keputusan. suka atau tidak, semua dari relungku. hebat kamu.
sekali lagi harus kubilang kamu hebat. aku tau resikonya dan aku menerima, aku paham perasaanku, dia, dan kamu yang seolah-olah masih diam, meski kamu tau tentang segalanya. iya, kamu memilih untuk diam. dan itu pilihanmu. sementara aku? diam bukanlah pilihan, tapi ketetapan. sama seperti keputusan yang telah kau beberkan kepadaku sebelumnya.
keputusan ini mendinginkan logikaku. lalu membawaku mengikuti alur yang kau tentukan sebelumnya. ya, lagi-lagi aku. aku yang berkewajiban mengetahui kedalamanmu, dan kamu yang hanya bertugas membuatku tertawa. tertawa yang kau jaga, beda dengan yang lainnya.
.
berhenti mencintai? oh tidak :) kamu datang di saat yang tepat. aku hanya butuh tertawa. dan itu olehmu. selebihnya? ah aku tidak memikirkannya. tak kujamin yang lebih dari ini akan menjadi yang terindah.
kupikir, untuk apa harus berhenti? bukankah segalanya masih indah jika kita menikmati? ah sudahlah, beberapa hari yang tersisa tentang kita, semoga masih ada cerita bersambung yang mampu ditentukan bersama. seperti ini. seperti kamu. dan pikiranku sendiri
Senin, 07 Januari 2013
Hanya....
tersisa sedikit rasa untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi, yang seharusnya terucap sejak dulu, sejak alasan itu beradu di titik dua hati bertemu, yang semakin menjauh karena waktu. rasanya hambar, perlahan seperti tiada yang ditunggu di bangku coklat depan rumahku, tentang lewatmu, harapan, dan gitar tua yang sempat ada di antara kita. rasanya, puisipun tak mempu menggambarkan kehampaannya.
lalu seolah pergi, tepat seperti saat cappucino hangat menjadi dingin seketika, saat aku lebih memilih untuk melamun, tidak untuk meminumnya. seperti senja yang hampir menjamur karena remaja penuh dosa, seperti datang menjawab segala kepenatannya dalam lubuk hati yang sebentar lagi diprediksi mengalami kehancuran.
adalah aku, yang masih menanti hingga esok datangnya hari, menunggu hingga nanti datangnya waktu. tetap di sini, di sudut subuh yang masih kita idolakan karena kenangan.
kali ini, cappucino masih belum nikmat, ketika teman-temanku berkicau tentang kebodohanku, seolah menunggu sesuatu yang aku seniri tak tah kapan kembalinya. meminjamkan hati pada seseorang yang aku tak mengerti orang itu siapa. dan aku tak berani menagihnya kembali.
seperti berdiri di ufuk fajar, yang masih beku karena embun yang berjajar, aku belum bisa melihat secerca cahaya terang dari jauh sana. seperti waktu yang masih kelabu, yang masih kupermainkan dalam zona abu-abu, dengan peranku, kata mereka aku babu. iya, babu cinta. menunggu kok derita!
hingga lambat laun tak jua kutemui kepudarannya. aku tanpa hiasan diri dan kelabu di ufuk hari kataku, lalu aku berjalan setapak ke depan lagi, dan ternyata masih kudapati penantian itu. penantian di samping orang baru yang tak dapat kupastikan perasaannya karenaku.
lalu mungkin hanya akan ada kedewasaan yang seharusnya membukakan segalanya, perihal jiwa dan duka lama, hanya dengan subuh itu, hanya dengan bangku coklat itu, dan hanya dengan gambar kenangan gitar tua itu.
Minggu, 06 Januari 2013
Dalam Jatuhnya Hujan
Seperti aku yang berayun dengan kenangan. Beralasan, aku hanya menunggu alasan. Alasan tentang kepergian, yang hingga kini masih seolah seperti dentuman angin malam. Keras, namun timbulkan pertanyaan. Bagaimana, untuk siapa, dan mengapa.
Aku seolah menari dalam kenangan itu, merajut sendiri dan membentengi segenap perih perasaan yang tergores dalam rindu. Aku bukan mahasiswa manajemen, bahkan menurutku mahasiswa manajemenpun tak handal mengatur perasaan itu. Ya, cinta. Kenapa disebut cinta? Abstraknya sama saja dengan perihal kebimbangannya.
Aku yang hanya duduk terdiam, mencoba berlari ke luar, melihat hujan menadahi seluruh isi senja, menantiku seolah menyambut raksasa luka yang keluar dari bilik angkaranya. Kemudian aku diam, dan kukira benar, aku membutuhkan payung itu.
Seketika ada yang menyapaku dari kejauhan, dengan lirih dia memanggil ketenanganku, mengoyak batin yang semestinya tetap tegap merasakan irama jatuhnya hujan itu. Pikirku racau saat itu, seolah menjatuhkan harga diri, kusambut sapaannya.
Kami saling lembut membaca. Oh ternyata kami sama, kami terhina. Seolah musnah pupus kecewaku kali itu, ketika dia mengusap lembut luka yang seolah tak pernah aku mengerti caranya menghalangi. Hingga sebentuk rangkaian kata itu membuatku mengerti tak ada luka yang tak sirna.
Perlahan aku mencari harapan dari kedinginan hati itu, seolah aku belum menemukan alasan. Tetap, masih seperti biasanya. Bagianku, bagianmu, seolah belum berpadu, atau mungkin, terlalu lama aku tak menyatu?
Perlahan dia menampilkan gaya baru, kukira tetap perihal cinta. Dalam jatuhnya hujan, seharusnya dia menjadi payung penghangat rasa, seolah bertindak seperti teh panas dalam salju yang membekukan jiwa. Ya, dia berhasil melakukannya. Hingga saat ini, hingga saat aku membingkainya sendiri.
Dan dalam jatuhnya hujan, seolah fokusku terkoyak. Tak mampu kudengar suara dengungan yang lainnya. Tentang cinta, kebenarannya, orang baru, alasan orang lama, bahkan hingga perasaanku sendiri. Bukannya mati suri, hanya semacam aku tak sanggup mengenali.
Seketika hujan kembali berhenti, dengungku bukannya bertambah menjadi, namun hilang dalam kepekaan simfoni. Aku masih tetap membingkainya sebagai payung. Payung lama, payung baru. Yang kuharap suatu saat bisa kupilih salah satu.
Dalam jatuhnya hujan, seolah semua masih tak terdengar. Perasaanku yang membimbang sendiri, dan hadirmu yang tak kunjung beri kejelasan yang berarti.
Aku seolah menari dalam kenangan itu, merajut sendiri dan membentengi segenap perih perasaan yang tergores dalam rindu. Aku bukan mahasiswa manajemen, bahkan menurutku mahasiswa manajemenpun tak handal mengatur perasaan itu. Ya, cinta. Kenapa disebut cinta? Abstraknya sama saja dengan perihal kebimbangannya.
Aku yang hanya duduk terdiam, mencoba berlari ke luar, melihat hujan menadahi seluruh isi senja, menantiku seolah menyambut raksasa luka yang keluar dari bilik angkaranya. Kemudian aku diam, dan kukira benar, aku membutuhkan payung itu.
Seketika ada yang menyapaku dari kejauhan, dengan lirih dia memanggil ketenanganku, mengoyak batin yang semestinya tetap tegap merasakan irama jatuhnya hujan itu. Pikirku racau saat itu, seolah menjatuhkan harga diri, kusambut sapaannya.
Kami saling lembut membaca. Oh ternyata kami sama, kami terhina. Seolah musnah pupus kecewaku kali itu, ketika dia mengusap lembut luka yang seolah tak pernah aku mengerti caranya menghalangi. Hingga sebentuk rangkaian kata itu membuatku mengerti tak ada luka yang tak sirna.
Perlahan aku mencari harapan dari kedinginan hati itu, seolah aku belum menemukan alasan. Tetap, masih seperti biasanya. Bagianku, bagianmu, seolah belum berpadu, atau mungkin, terlalu lama aku tak menyatu?
Perlahan dia menampilkan gaya baru, kukira tetap perihal cinta. Dalam jatuhnya hujan, seharusnya dia menjadi payung penghangat rasa, seolah bertindak seperti teh panas dalam salju yang membekukan jiwa. Ya, dia berhasil melakukannya. Hingga saat ini, hingga saat aku membingkainya sendiri.
Dan dalam jatuhnya hujan, seolah fokusku terkoyak. Tak mampu kudengar suara dengungan yang lainnya. Tentang cinta, kebenarannya, orang baru, alasan orang lama, bahkan hingga perasaanku sendiri. Bukannya mati suri, hanya semacam aku tak sanggup mengenali.
Seketika hujan kembali berhenti, dengungku bukannya bertambah menjadi, namun hilang dalam kepekaan simfoni. Aku masih tetap membingkainya sebagai payung. Payung lama, payung baru. Yang kuharap suatu saat bisa kupilih salah satu.
Dalam jatuhnya hujan, seolah semua masih tak terdengar. Perasaanku yang membimbang sendiri, dan hadirmu yang tak kunjung beri kejelasan yang berarti.
Langganan:
Postingan (Atom)