Rabu, 29 Agustus 2012

Senja dan Segala Kesenduan

Senja di ufuk barat. Kulihatnya masih setia dengan gunung itu. Kulihatnya diam, kulihatnya sendu. Kulihat diriku sendiri, gundah dalam sendu. Aku tak sesetia senja itu. Aku tak semenarik gunung itu. Segalanya sama. Diam dalam harapan.



Kali ini aku mengalah. Tiada ruang yang larut dalam sebuah kebahagiaan. Inilah kala senja. Kala aku bersetubuh dengan kesenduan. Kesenduan yang kubuat sendiri, tentunya dengan bumbu masa lalu.

Kesalahan? Ya, mungkin itu. Hidup ini terlalu berdiorama. Aku tak mampu menebak cikal kepahitan itu, cikal kenestapaan itu. Ya, inilah aku dengan segala kesenduan. Masih rindu, namun tak seperti senja dan gunung itu.


Tarian ilalang bumbui bimbang. Kali ini tiada ruang untuk beradu kembali. Tiada ruang untuk mengerti lebih mengerti. Aku hidup tanpa atap. Lebat di atasku, dingin di bawahku. Dan aku tak kuat. Karena aku masih tak layak senja dan gunung itu



Usah kusimpan lara ini. Hanya sendu yang kubiarkan menari-nari dalam pikiran tanpa kejelasan. Biar kuartikan dalam ketimpangan hidupku sendiri. Menari, dalam kesenduan. Mengerti, dalam kebodohan. Dan hingga fajar kembali lagi. Aku masih beku dan belum mati. Menunggu senja tak bersama gunung itu lagi,

Aku ingin menggantikan gunung itu. Diam, dan dihampiri sang senja. Bahkan, si balita pun tau, sang senja memeluk gunung itu dari belakang. Sang senja tenang di balik sang diam. Sang senja terpejam di tempat kebahagiaan. Dan sekali lagi, aku ingin menggantikan gunung itu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar