Minggu, 29 Juli 2012

Malam itu kejam! Malam itu murka!

Ada yang terbangun di tengah peliknya malam, dan menganggap inilah seni kehidupan?
Ya. Kehidupan malam itu keras. Bahkan sangat keras, bagi si rabun yang tidak mengerti apa itu arti sebuah percaya diri.
Aku percaya tentang seni kehidupan. Walau aku tak sanggup untuk merangkainya sendiri. Aku percaya dengan sebuah kekalahan. Walau aku tidak tercipta untuk gampang menerimanya.

Lalu, apa itu kehidupan malam bagiku? Itukah sebuah angan? Atau bahkan, jalan kebahagiaan? Sepertinya, sendiri masih lebih baik.



Kalian diam di saat aku menang, dan mencaci aku disaat aku terjatuh tersungkur dengan sangat memalukan. Bagiku, kalian hebat. Butuh mental yang kuat untuk menghakimi orang lain dengan caranya sendiri. Namun tidak bagi yang lain, yang menganggap hal itu hanya sebagai sebuah umpatan pecundang.

Mungkin kali ini aku diam. Hanya menerima sebuah kenyataan tanpa mengetahui jalan terbaik yang seharusnya mampu untuk diperbaiki. Inilah malam. Inilah kekejaman. Disaat kamu berniat untuk mengepakkan sayap, bulan tak memberi cahaya yang cukup untuk membuat dirimu kuat.

Dalam hina, aku hanya mampu berkata, aku ingin menerobos kepahitan ini. Memberi ruang bagiku untuk bersyukur, walau aku sendiri tak tahu apa yang harus kusyukuri. Memberi dendangan hati yang lara, walau harus menyanyi dengan tertatih jua.

Inilah malam, kelam! Itulah sahabat, cinta. Tak ada yang mampu menguatkan selain hati nurani. Mungkin salah satunya adalah keprihatinan. prihatin atas kenistaan diri. Sepi, sendiri, dan perlahan, mati.

Aku ingin berlari dari kegelisahan malam. Bukan tuk jadi pecundang. Aku hanya ingin memberi ruang kepada mereka, untuk melihat sejauh apa lompatannya bertahan. Untuk melihat sepiawai apa kepakkan sayapnya. Dan untuk meliat, seindah apa tarian malamnya. Bagiku, malam memberi ruang yang cukup untuk menangis. Bagiku, malam memberi waktu yang tepat untuk mengemis.

Akulah hasil dari masa laluku. Yang takluk akan malam, yang takut akan keheningan. Dan kini aku tahu, malam berhasil mempecundangi relungku dalam sesal yang akan kusimpan panjang. Bagiku, malam belum cukup baik untuk diriku sendiri.

Aku ingin temaram itu murka, aku ingin cahaya itu lelah! Lelah menyinari malam! Agar malam merasakan hal yang sama denganku, dibuang! Ya, dibuang tak berguna! Aku ingin malam tahu, apa jadinya dia tanpa temaram. Apa jadinya dia tanpa rembulan. Dan aku ingin malam menyembahku. Menyembahku melebur kesombongannya.

Malam memang hina. Seperti tamparan keras saat aku dikalahkannya. Dan malam masih menikmati sisa waktunya. Sebelum malam tiada, sebelum malam binasa. Malam sirna. Malam itu kejam! Malam itu murka!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar